Monday, July 6, 2015

Sepatu Flatshoes Terlaris




Ini dia sepatu yang abis sampai restock kembali di Keyla House. Ready Stock size 36-40. Mau lihat koleksi lainnya? klik link di bawah ini :
http://keylahouse.com/

BELIEVE 1.5

Pagi yang cerah, menggambarkan jauh dari kata musim hujan bulan ini. Berseragam olah raga dan siap ke lapangan. Sekolah kami, setiap pelajaran olah raga menggabungkan 2 kelas seperti adanya kompetisi. Dan tentunya di bagi 2 grup, olahraga siswa dan olahraga siswi. Kedua grup olahraga ini saling bertukar tempat, kalo ga di lapangan ya di Aula. Dan hari ini, jadwalnya para siswi untuk berlatih bermain voly di lapangan.
 Ini merupakan hal yang paling malas aku lakukan, aku lebih baik memilih lomba lari atau bermain basket, kalau perlu main bola walaupun kaki kemana dan bola kemana. Tapi setidaknya tidak memberikan rasa sakit saat bermain, sudah kucoba 2 minggu lalu saat berlatih server dan alhasilnya ga ada kemajuan, yang ada hanya tanda merah lebam di tangan kecilku ini.
Praktik olahraga dimulai dengan pertandingan volley antar kelas, setiap kelas dibagi 3 grup sesuai urutan absen. Sudah jadi keputusan mutlak kalau apapun yang berdasarkan absen, aku selalu menjadi grup 2. Rani dan Tina berada di sekitaran ujung absen, jadi termasuk ke group 3. Selagi menunggu giliran bertanding, kami menjadi penonton dan mencari tempat yang teduh.
“Key, jadi sama Kak Regi hari ini?” tanya Tina memastikan. “Adeuhh… Ada yang mau jadian ni” goda Rani. “Hmm belum ketemu lagi, tapi kemarin bilangnya gitu, ga yakin juga sih. Masih belum percaya hehee” muka ini terasa panas dan deg-degan, entah apa yang akan terjadi hari ini.
“Sms aja, tapi kamu ga punya no hpnya ya. Kalo jadi, kita ketemu disana ya. Jangan lupa bawa jaket, seperti yang dia omongin..” ujar Tina. Haa.. iya jaket, dia menyuruhku untuk pakai jaket buat acara nanti, pake jaket yang mana ya. Berpikir keras sebagaimanapun tetap saja tak ada jaket yang membuatku terlihat bagus, jaket yang biasa kupakai ke sekolah barang lama semua. Waktu terasa cepat, sampai tiba giliranku untuk bertanding.
Pertandingan pertama, kelas kami berada di posisi teduh dan menghadap ke arah barat dimana ada kelas Kak Regi disana. Setengah pertandingan pertama, tiba-tiba anak kelas Kak Regi pada keluar kelas semua. Mereka berkumpul di depan kelas, seperti bersiap-siap untuk pergi ke kelas komputer dengan membawa buku 1 dan ballpoint. Konsentrasiku menjadi buyar dan mencari penampakannya. Sampai terdengar suara peluit dari sang guru olahraga yang mengakhiri pencarianku akan penampakannya.
Kami bertukar posisi, dan posisi kami sekarang berada di tempat yang terpapar sinar matahari dan menghadap Timur. Aku bersyukur dalam hati, setidaknya aku tak terlihat jelas olehnya saat pertandingan voli ini. Namun disaat temanku menyerver bola volinya, Rani dan Tina berteriak. “Keyla! Keyla..!” sambil tertawa dan saat kulihat mereka, mereka menunjuk ke arah samping kananku.
Saat kutoleh ke kanan, segerombolan kelas Kak Regi berjalan ke arah Timur. Tujuan mereka bukan ke ruang komputer, melainkan ruang multimedia yang tepat berada di samping kanan depanku. Mereka berkumpul di depan ruang Multimedia yang berada di lantai 2, karena kunci ruangan tersebut dipegang oleh gurunya. Disaat pandangan mereka tertuju semua ke lapangan, apesnya giliranku untuk server.
Bola voli kupegang, kakiku mulai lemas dan tangan berkeringat dingin. Kumulai berdiri di tempatku, terlihat semua orang yang ada disana termasuk Kak Regi yang sedang fokus melihat ke arahku. Teman-temannya mulai menggoda, “Regi, Regi, Regi..” dan Kak Regi tetap tak bergeming.
Aku mulai grogi dan yang sangat ingin kulakukan sekarang adalah melempar bola voli ke teman sebelahku untuk menggantikan posisiku sekarang. Tapi tak mungkin aku lakukan itu, atas dasar apa aku bertindak seperti itu. Apes banget sih si gue, okey tak ada pilihan lain.
Aku mencoba menenangkan diriku dengan menarik nafas panjang, mengambil posisi, angkat tangan kiri lalu lempar bola voli ke atas dan tangan kiri bersiap. “Regiiii….” terdengar suara temannya disana. Kukumpulkan semua tenaga di tangan kanan, dengan segenap hati kupukul bola voli itu dengan harapan akan terlempar ke arah depan. Namun, “yaaaaaahhh” serentak suara kekecewaan dari teman-temanya Kak Regi disana. Aku pun seakan runtuh dan malu tingkat Dewa, dengan melihat bola voli yang kupukul terlempar jauh sampai ke genting kelasku yang berada di sebelah kiriku sekarang.
Saat kuberpindah posisi ke sebelah, anak-anak kelas Kak Regi mulai masuk ke ruangan Multimedia karena sang guru yang ditunggu sudah tiba. Aku meringis, seperti pertunjukan awal yang memalukan sebelum mereka memulai pelajarannya. Kenapa waktunya apes banget, kenapa sang guru yang mereka tunggu datangnya ga dari tadi, kenapa pas kelasnya yang ke ruang multimedia sekarang, aaahhhh kenapa? Kenapa? Kenapa?
“Hahaa Keyla Keyla…. Muka kamu tuh ya, tadi kaya tomat mateng yang siap diulek tau ga..” Rani mulai membeli gorengan kesukaannya. “Kasian kamu Key haha” tambah Tina antara turut berduka cita dan bersuka cita dengan penderitaanku ini. Kantin terlihat kosong saat itu, karena sedang jam pelajaran sekolah dan kami masih ada waktu 15 menit lagi sebelum mata pelajaran selanjutnya dimulai.
Aku hanya bisa menghempaskan diri di bangku dekat kantin dengan meremas bungkus beng-beng yang kupegang, pandanganku tertunduk ‘apes banget sih’. Pandanganku mulai terhalang dengan adanya sepasang sepatu laki-laki yang berwarna hitam. Kulihat orang tersebut dengan mendongakkan kepalaku, ‘Ha? Kak Regi?’ kukedipkan mataku berkali-kali untuk menjelaskan pandanganku.
“Key, nanti sore jadi kan?” tanyanya. Aku mulai tersenyum, perasaanku campur aduk sekarang “Iya Kak, jam 5 ya? Ketemu di depan gerbang sekolah ato dimana?”. “Dii.. depan mading aja, kalau di depan gerbang ga ada tempat duduk” dia mulai memutuskan. “Okey” aku menjawabnya dengan tak lupa senyumku tersungging. Tina dan Rani muncul dari arah kantin, Kak Regi melihat ke arah mereka dan tersenyum, “Yaudah, aku masuk dulu ya. Duluan ya” senyumnya ramah. “Iya Kak” Rani dan Tina serentak menyerbuku dan bertanya sana-sini.
***
Isi lemari semuanya kuacak, berbagai macam baju kucoba. Tapi payah, tak ada yang bagus sampai akhirnya aku menyerah dan kuraih lagi kaos ,celana jeans panjangku dan jaket yang sering kupakai ke sekolah. “Ya sudah, apa adanya saja” pasrahku terhadap cermin. Aku berpamitan ke mamahku tersayang sambil meminta uang tentunya. Sampai kutiba di sekolah dan kulihat jam di hp “ternyata masih jam setengah 5, yaahhh aku lupa charge hp tadi, tinggal 5%, aduuhhh” aku mulai panik.
“Keyla? Kebetulan ada, bantuin aku yuk masukin speaker ke lemari. Tadi Pak Pelatih minta dimasukin soalnya itu lumayan harganya” dia adalah salah seorang fighter Teater yang sering disebut kembaranku karena sama-sama berkulit sawo matang dan langsing alias kurus, namanya Hana. “Oh baik Kak” aku langsung sigap membantunya di sekre Teater, dari sini terlihat tempat mading, namun tempat duduknya sedikit terhalang dengan mading lainnya. Lagipula masih lama, setengah jam lagi ini.
 “Oke, dah selese. Makasih ya Keyla.. Kamu abis pulang ya, sekarang mau kemana?” tanya Kak Hana. Aku sempat berpikir untuk berkata, kata aman yang tidak menimbulkan pertanyaan lagi yang memancing keingin tahuan Kak Hana aku pergi dengan siapa, “Hee mau ke DaFest, kakak kesana juga ga?”
“Pulangnya malem ya, rumahku jauh Key. Jadi susah, yaudah aku duluan ya, hati-hati lho dah sepi sekolahnya” Kak Hana memang orang yang baik dan perhatian, dia selalu sabar dalam masalah apapun yang ada di Teater dan dia yang paling peduli terhadap Teater kita ini.
Kulihat jam di dinding Teater menunjukkan pukul 17.05 WIB dan kutengok tempat mading dari sini, tapi tak terlihat siapapun disana. Aku berjalan ke tempat mading dan tetap tak terlihat siapapun disana, kulihat handphoneku dan ternyata sudah mati. Aku terus menunggu di tempat itu sambil membaca isi mading yang ada, dengan sesekali dikejutkan dengan orang lewat, dan terus kekecewaan yang ada saat kulihat ternyata bukan dia yang lewat.
Aku mulai terduduk sambil melihat mading, apa lagi yang harus kulakukan. Semua yang ada di mading sudah kubaca sampai hal-hal kecilpun ikut terbaca olehku. Kulihat langit ternyata sudah mulai menggelap, dan adzan maghrib mulai berkumandang. Ah, ternyata sudah 1 jam lebih aku menunggu. Kenapa Kak Regi belum muncul juga ya?? Tina sudah ada disana belum ya? Lalu kulihat telepon umum yang ada di sebelah mading.
Ya ampun, kenapa ga aku telepon aja. Tapi, aku ga hafal nomor mereka dan hpku mati. Aduuhh… apes apes apes banget hari ini. Hah, lebih baik aku shalat dulu saja, tapi gimana kalo aku lagi shalat, Kak Regi datang. Ho okey, aku kasih note aja di mading, tapi aku ga bawa ballpoint dan buku, hanya dompet dan hp yang kubawa.
Ku mulai mencari pulpen dan kertas di kelas sebelah, karena terkadang para siswa teledor atau malas untuk membawa terlalu banyak buku di tasnya. “Ah, ketemu!!” aku langsung melesat ke tempat mading dan kutuliskan pesanku ‘Kak Regi, aku shalat dulu di mushola ya’. Aku selipkan di antara tempelan mading agar mudah terlihat.
Aku berjalan ke arah mushola dan shalat Maghrib dulu disana, saat ku selesai berwudhu dan menaiki tangga. Terdengar seseorang di shab laki-laki, aku sangat berharap itu dia. Selesai shalat kulihat dirinya dari atas, tapi ternyata bukan, anak ekskul karate yang ada disana. Aku berjalan lemas ke arah mading dan masih belum berubah, tak ada seorangpun yang ada disana, malah pesanku tak ada pergeseran sama skali. Aku mulai terduduk lemas dan tertunduk, tanpa sadar penglihatanku mulai kabur, ku ingin menangis..
“Kamu masih di sini?!” aku kaget dan melihat ke arahnya, aku mengira Kak Regi tapi suaranya lain. Dia mulai menghampiri “dari jam berapa kamu nunggu disini?” nadanya terlihat khawatir dan segera memasangiku helm. Ah, aku ingat. Dia kan pangeran komik yang temennya Said itu, tapi apa yang dia lakuin disini? “Udah, aku anterin pulang ya. Sudah gelap ini, kamu ga takut sendirian disini”.
Aku masih bingung, dan ga tau harus berkata apa, kucoba melepaskan helm dari kepalaku. “Tapi Kak Regi gimana? Nanti dia dateng akunya ga ada, kasihan kalo udah dateng jauh-jauh kesini ternyata aku ga ada” aku mencoba untuk mengeluarkan kalimat yang ada di pikiranku.
“Kamu tuh yah, polos ato gimana sih. Kamu lihat sekitar kamu, sudah gelap semua dan ga ada orang disini. Sekarang aja udah jam 7, kamu kan janjian dari jam 5 jadi harusnya kamu yang gimana? Bukannya dia!” suaranya agak meninggi. Aku semakin bingung, kenapa dia terlihat kesal dan marah. Tunggu, dari mana dia tau aku janjian jam 5? Saidkah? Tapi Said kan ga tau apa-apa, yang tau hanya Rani dan Tina. Aku sepertinya terlihat aneh di matanya sekarang, dengan raut muka berpikir namun mata berkaca-kaca.
“Lagipula dia ga akan dateng” ucapannya membuatku lebih berpikir, “dia udah ada disana dari tadi, bareng teman-temannya” ucapannya kali ini cukup membuat air mataku mulai membasahi pipi. Aku menutupi mukaku dengan kedua telapak tanganku, aku merasa seperti orang bodoh dan apa yang sebenarnya aku lakukan disini.
Kenapa Kak Regi? Kenapa? Padahal aku sangat khawatir, apakah kamu kejebak macet, ada masalah yang harus diurus dan lain-lain. Aku malu dengan diriku sendiri. Aku seperti anak kecil yang mudah tertipu.
Diantara tangisku, ada tangan yang mengusap kepalaku dengan lembut. Dia mencoba menenangkan dan memakaikanku helm kembali “aku antar kamu pulang ya, dah malem”. Kulihat mukanya yang tulus dan kamipun berjalan ke arah motornya. Tanpa berkata, aku menaiki motornya dan berpegangan pada jaketnya. Diperjalanan pulang tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya selain bertanya jalan ke arah rumahku, aku tak habis pikir akan seperti ini akhirnya, air mataku kembali mengalir dengan ditemani lampu malam.